Skip to main content

Perjuangan Menjemput Matahari #2

Ada sahabat yang ‘protes’ kemarin. Kenapa matahari? Kesannya susaaaah, mustahil. Ah, biarlah yaa.. Kun fa yakun. Kalau Tuhan sudah berkehendak, apa sih yang nggak mungkin? Hihi…. *pisss ko*

Jadi, sebelum bulan puasa yang aku memutuskan ‘istirahat’ itu. Aku bertemu satu potongan penting puzzle perjuangan ini. Ada 2 anak kembar yang menjadi anak didik baru di Daycare tempat aku bekerja. Anak yang lucu-lucu itu, ternyata hasil program bayi tabung di RS. Siloam Surabaya. Perkenalan dengan Bunda Iva, Bunda dari 2 anak kembar itu, membuat ‘semangat juangku’ yang sempat redup kembali menyala. Dari beliau, aku dan suami menjadi tahu, bahwa biaya program bayi tabung yang sebelumnya kami beri label ‘tak terjangkau’ berubah menjadi ‘bisa diupayakan’. Dari sharing panjang lebar yang beliau tuliskan dan kirimkan ke email, sepertinya membuat suamiku yakin untuk mengupayakan program tersebut. Sementara aku, masih agak ragu, antara iya dan tidak, antara ‘eman2′ dan pengen. Duh.

Lebaran 2014 (akhir Juli 2014), aku dan suami mudik ke Malang. Setelah mendaftar by phone pada hari Sabtu, Senin tanggal 4 Agustus, suami sudah mantap mengajak aku ‘menghadap’ dokter Aucky, androlog pelopor program bayi tabung di Indonesia yang mendirikan dan mengelola klinik fertilitas di RS. Siloam Surabaya. Di hadapan dokter Aucky, suami menjelaskan riwayat pengobatan yang sudah kami lakukan selama di Jogja, lalu mengkonsultasikan keinginan kami untuk menjalani program bayi tabung, tentang prosedurnya, dan berapa kisaran biayanya. Dengan singkat, padat dan jelas, dokter Aucky menggambarkan kepada kami dalam secarik kertas kira-kira kapan kami harus datang, bagaimana prosedur yang akan kami jalani, berapa kira-kira biaya yang harus dikeluarkan, sampai berapa persen kemungkinan keberhasilannya. Saat itu, dengan berbekal informasi singkat tentang riwayat kami, dokter Aucky memberikan gambaran  sekitar 40% saja tingkat keberhasilannya, dan program dimulai pada hari ke-2 atau ke-3 menstruasi.

Kebetulan, 4 Agustus itu adalah hari pertama aku mens. Jadi sebenarnya kalau mau, aku langsung bisa menjalani program keesokan harinya. Tapi dengan berbagai pertimbangan, termasuk pertimbangan keraguanku, termasuk juga karena aku mesti ijin cuti khusus setidaknya selama sebulan (1 siklus), kami memutuskan untuk pulang dulu dan mungkin akan kembali bulan depan.
Pulang ke Jogja, entah berapa kali aku bertanya pada suamiku “yakin mas? yakin mau bayi tabung mas? nggak sayang uangnya mas? dokter hanya memberi gambaran umum tentang biayanya, gimana kalau ntar biayanya membengkak? gimana kalau setelah itu kita nggak punya tabungan sama sekali? kalau gagal nyesel nggak? tingkat keberhasilannya cuma 40% lho.., dll” tapi suamiku selalu menjawab dengan jawaban yang sama: “yakin, uang bisa dicari, 40% itu patut untuk dicoba, apapun yg terjadi tidak akan menyesal, kita hanya ikhtiyar”. Kalau mau jujur, sebenarnya aku lebih pantas menanyakan hal itu pada diriku sendiri :(

Pertengahan Agustus 2014, aku mulai yakin. Sudah minta ijin pada kepala sekolah. Sudah minta restu pada orang tua. Kami sudah bersiap-siap, berdasarkan jadwal siklus bulanan, seharusnya tanggal 31 Agustus atau 1 September aku haid, sehingga rencana berangkat ke Surabaya sekitar tgl 1 September. Tapi rupanya tanpa disadari aku memendam stres, sehingga haidku tiba-tiba datang tanggal 28 Agustus siang!

Sore itu juga, kami langsung mencari tiket kereta ke Surabaya. Dapat tiket untuk esok paginya. Jumat, 29 Agustus 2014 pagi, kami berangkat ke Surabaya. Berdasarkan instruksi dari klinik, kami ‘mruput’ datang ke Siloam Sabtu jam 6 pagi (yang ternyata perawat kliniknya baru datang jam 6.30an, hehe). Program diawalin dari skrining darahku dan suami. Sambil menunggu hasil skrining darah, aku menjalani USG Trans-V, yang mana tindakan ini sangat tidak nyaman apalagi dilakukan saat aku mens, tapi gapapalah, demi…

Sekitar jam 10, hasil skrining darah sudah keluar, kami dipanggil menghadap dokter Aucky. Dokter menyampaikan bahwa hasil skrining virus dalam darah kami negatif, hasil USG oke, sehingga kami resmi bisa memulai program hari itu juga dengan menyuntikkan 3 ampul Gonal-F (dosis Gonal-F ditentukan oleh dokter dengan mempertimbangan faktor usia calon ibu, kondisi fisik termasuk berat badan, dll). Gonal-F ini gunanya (dalam bahasa awam) adalah untuk memperbanyak produksi folikel/sel telur. Yang bikin aku kaget setengah mati, suntikan ini tidak di pantat, lengan atau tempat-tempat yang menurut aku biasa jadi tempat menyuntik. Suntikan Gonal-F ini disuntikkan pada lemak perut! IYA DI PERUT. Ngaku, selama ini aku takut jarum suntik, meski sudah 2 kali operasi, beberapa kali ditusuk jarum infus, suntikan di perut ini tetep bikin aku ‘jinjow’! Tapi, sekali lagi DEMI, jadi yaa dijalani :)

Dan suntikan Gonal-F ini berlangsung setiap hari. Pada hari ke-4, aku kembali di USG untuk melihat perkembangan folikel. Dan, tebak ada berapa yang nampak? DUA! Hanya dua. Aku mulai dihinggapi stres. Bagaimana mungkin setelah diinjeksi 3 ampul x 3 hari Gonal-F, sel telurku hanya ada 2? Padahal saat USG Trans-V terakhir (saat insem kedua), ada 7 folikel di ovarium kanan dan kiriku. Duh, Tuhan.  Saat menghadap dokter, aku bertanya “kalau seandainya, sampai akhir terapi Gonal-F hanya ada 2 sel telur, gimana Dok?” dengan sabar dokter Hamdani (androlog Tim dr. Aucky) menjawab “Ibu, dalam program bayi tabung, bukan jumlah folikel yang penting. Ada satu-pun, kalau itu bisa menjadi embrio yang bagus, lalu ditanam di dalam rahim dan bisa menempel, maka programnya bisa sukses. Yang penting, sekarang Ibu jangan stres, dibikin hepi, karena faktor stres bisa memicu hormon ibu”. Lalu aku menjawab “kalau aku jalan-jalan ke mall biar nggak stres di kos (selama program aku ngekos di Sby), boleh Dok?” dan jawaban dokter cukup menyenangkan, “boleh, kalau sekarang, ibu tiap hari nge-mall masih boleh”. HOREE! #eh.

Sorenya, dosis Gonal-F ditingkatkan menjadi 4 ampul sekali suntik. Sakit? Sedikit. Tapi tiap menyingkap baju dan liat perut mau disuntik, itu ‘ngilu’ banget! Tiga hari berikutnya, kembali di-USG. Dan taraaaaaaa…. ada 5 folikel yang tampak, sebagian diameternya sudah 18mm. Karena itu, sore harinya, selain suntik Gonal-F 4 ampul diteruskan, ditambah 1 suntikan lagi yang namanya CTT. Lokasi penyuntikan di mana? MASIH DI PERUT, DUA-DUANYA. Di sebelah kanan pusar dan di sebelah kiri pusar. Rasanya? yang CTT ini sedikit nyeri saat obatnya masuk. Tapi, teman-teman yang hendak menjalani program bayi tabung, tidak usah terlalu kuatir dengan proses ini. Segala deskripsi ‘kengerian’ ini mungkin hanyalah manifestasi dari ketakutan aku terhadap jarum suntik!

Oiya, kalau Gonal-F bertujuan memperbanyak produksi folikel dan mematangkannya, CTT bertugas untuk menahan folikel yang sudah besar untuk tidak pecah duluan. Dan 2 obat ini kerjanya ngutak-atik kadar hormon dalam tubuh perempuan. Sehingga bisa dibayangkan efek sampingnya apa? Yap! Aku jadi lebih mewek-an, lebih sensitif, emosi jadi kurang stabil, bisa tiba-tiba nangis inget hal-hal kecil, bisa tiba-tiba terharu inget kenangan, bisa tiba-tiba pengen marah padahal masalahnya sepele, bisa tiba-tiba pesimis tapi bisa juga tiba-tiba optimis. Tidak bisa digambarkan secara jelas, karena itu, buat para suami, tunjukkan perhatian dan kasih sayang jaaaaaaauh lebih besar dari biasanya, saat istri Anda menjalani proses ini. Just like my husband, who treat me like a number one queen of the world. Its really-really helpful untuk menjalani saat-saat itu.

Dan pada hari ke-11, kembali aku di-USG+cek kadar estradiol dalam darah. Dokter menyatakan stimulasi sudah cukup, tingkat kematangan sel telur sudah cukup, sehingga sore itu aku diberi suntikan pecah telur (hore, suntiknya di pantat). 36jam kemudian atau tanggal 10 September 2014, aku dijadwalkan untuk OPU atau panen telur.

Berdasarkan hasil googling, proses OPU sepertinya cukup menyeramkan. Sel telur akan dipanen/diambil dengan menggunakan jarum khusus yang disuntikkan melalui dinding vagina yang menembus ke arah ovarium. NGGAK DIBIUS, hanya diberi obat pereda nyeri. Serem? IYA. Aku sampai gemeteran sendiri saat sudah diminta melepas semua pakaian dan berganti pakaian seperti yang untuk operasi. Sebelum tindakan OPU dilakukan, suster memasukkan 2 kapsul pereda nyeri melalui dubur, lalu menancapkan infus antibiotik di tangan kiri. Dan… aku diminta naik ke atas kursi pesakitan meja tindakan. Dengan cekatan, suster-suster di ruang itu langsung meletakkan pahaku di alat penyangga, lalu mengikatnya. Lengan kanan dipasang tensimeter, lengan kiri dipegang suster dengan lembut, sambil diinfokan tindakan apa yang akan dilakukan dokter. Di samping kiri, ada monitor yang menunjukkan proses ‘penjemputan sel telur’. Dokter mulai melakukan ‘ritual’, mulai dari pembersihan area luar, memasukkan entah sepertinya semacam alat cocor bebek itu, memasukkan alat USG Trans-V, lalu berkata “lihat ke monitor ya, Bu. Itu kelihatan telur-telur yang akan diambil”. Dokternya pinter! Saat aku lengah dari ‘fokus’ merasakan apa yang terjadi ‘di sana’, saat aku mengalihkan perhatianku ke layar monitor, lalu cusssss….. Jarum itu menusuk dan menyedot telur-telur di monitor itu satu persatu. Selesai sebelah kanan, dokter berkata “sekarang yang sebelah kiri ya, Bu”. Dan kembali cussss itu terasa diiringi rasa semacam geli karena telur-telur itu satu persatu ditarik lepas. Selesai. Lega? Belum. Dokter masuk harus mengeluarkan alat-alatnya, lalu kembali membersihkan yang rasanya seperti….. DISIKAT!

Oke, done. Aku dipindah ke ruang pemulihan, dokter menginformasikan, dari 6 setl telur yang ada, yang berhasil diambil hanya 5 karena yang 1 letaknya terlalu dekat dengan pembuluh darah, tidak bisa diambil karena terlalu beresiko, mbuh resikonya apa, pokoknya aku mendengarkan saja sambil menahan sisa-sisa ngilu. Kabar baiknya, lima-limanya oosit alias sel telur yang ada isinya alias bisa dibuahi semua (saat itu aku baru tau, kalau sel telur yang terlihat di USG tidak semuanya ‘berisi’, bisa jadi hanya cangkang saja). Nyicil ayem lah…

Oiya, sebelum aku menjalani OPU, suami sudah setor sperma duluan untuk kemudian diproses, dipilih yang paling oke. Sel telurku sudah diambil, sperma suami sudah disetor. Tugas dokter adalah ‘menyuntikkan’ sperma langsung ke dalam sel telur, lalu menunggu perkembangan berikutnya. Aku pulang ke kos dengan bekal instruksi 2 hari berikutnya telfon ke klinik untuk menanyakan jadwal ET atau Embrio Transfer. Its mean untuk menanyakan kabar perkembangan ke-5 calon anak kami. Pasca OPU, perut bagian bawah terasa nyeriiiiii. Kirain penderitaan OPU berakhir saat proses OPU selesai, ternyata masih berlanjut semalaman, hiks. Tapi tenang, tidak semua mengalami hal seperti ini, berdasarkan survey pada teman-teman (yang baru kenal saat sama-sama ngantri di klinik), ada beberapa yang kesakitan seperti aku, ada beberapa yang tidak.

12 September 2014, aku telpon ke klinik. Suster menginformasikan bahwa dari 5 telur yang dibuahi dengan metode ICSI, hanya 3 yang berhasil menjadi embrio. Maka, jadwal ET ditentukan besoknya, 13 September, pagi.

Sekali lagi dari hasil googling dan hasil investigasi ngobrol dengan sesama pasien program bayi tabung, aku membayangkan proses ET tidak terlalu menyeramkan. Sepertinya kurang lebih sama dengan proses inseminasi yang sudah pernah aku jalani sebelumnya. Hanya saja, untuk proses ini, aku harus minum banyak yang nahan pipis, maksudnya biar kantong kemih penuh, sehingga bisa menghasilkan refleksi yang lebih jelas untuk menggambarkan kondisi rahim dalam monitor USG (untuk proses ET, tidak menggunakan USG Trans-V tetapi menggunakan USG luar yang ditempel di perut bawah itu).

Kelihatannya sepele ya, cuma nahan pipis. Tapi percayalah, nahan pipis, dengan kondisi -maaf- ‘ngangkang’ dan dilakukan tindakan di bawah sana pluss perut bagian bawah (tepat di atas kantong kemih) ditekan dengan alat USG, cukup MENYIKSA. Tapi itu semua bukan apa-apa, saat alat sudah masuk, selang panjang mirip kateter sudah berada di posisi tengah-tengah rahim, lalu dokter berkata, “Ibu, lihat monitor ya, ini embrio Ibu saya masukkan… satu.. dua.. tiga, lihat itu calon anak-anak ibu sedang mencari pegangan”.

Aku terkesima. Saat dokter membilang satu-dua-tiga, ada titik-titik putih terang bermunculan dari ujung selang kateter. Lalu seperti mengambang dalam rahim. Aku terharu. Aku meneteskan air mata tanpa kusadari. Aku tidak melihat embrio. Aku melihat malaikat keluar dari persembunyian. Saat itu dokter berkata “Ibu, embrio sudah masuk, campur tangan dokter hanya sampai di sini, selanjutnya adalah rahasia dan kehendak Tuhan, berdoa ya, Bu”. Dan akupun berdoa, sepertinya doa paling baik yang pernah aku panjatkan. Kuat dan sehatkan anak-anakku Ya Allah…, dan setelah sekian lama, rahimku sempat berpenghuni.

-sebentar, ambil tisu-

Ngantuk, lanjut besok ya…. insyaallah.

Comments

Popular posts from this blog

aku tempatmu kembali

Perjuangan Menjemput Matahari #1