Perjuangan Menjemput Matahari #1

Matahari. Bagiku, adalah suatu simbol harapan, simbol tujuan, simbol cita-cita, simbol sesuatu yang amat sangat ingin aku gapai. Dan 'tagline' menjemput matahari, adalah ungkapan yang menurutku cukup mewakili usaha yang selama ini aku dan suamiku lakukan, untuk bisa mendapatkan kepercayaan langsung dari Tuhan, berupa titipan keturunan.

Jujur, tak mudah bagiku untuk menuliskan pengalaman ini. Kadang masih sangat terasa 'ngilu' setiap kali mengingat segala upaya yang telah kami lalui, yang hingga kini, belum membuahkan hasil yang sangat kami harapkan.

Namun, kesadaran bahwa kami tidak sendirian, bahwa di ujung bumi yang lain ternyata begitu banyak pasangan yang senasib dengan kami, menguatkan aku untuk sekedar berbagi tulisan ini. Siapa tahu, pengalaman kami, segala proses yang membawa kami sampai di titik sekarang ini, dapat memberi manfaat atau setidaknya dukungan moral, bagi pasangan-pasangan lain yang juga sedang berjuang untuk menjemput matahari mereka masing-masing. Anggap saja-lah, tulisan ini, adalah wujud perpanjangan tanganku untuk memeluk siapapun yang saat ini sedang berjuang atau berharap untuk memiliki keturunan yang baik. Percayalah, aku sangat memahami apa yang kalian rasakan. Dan percayalah, Tuhan selalu menyayangi kita dengan cara yang paling baik untuk kita.

Ironis, tapi inilah rahasia Tuhan. Saat begitu banyak manusia lain yang 'menolak' anak, kami justru harus berupaya sampai 'berdarah-darah' untuk mendapatkan anak. Tidak hanya tenaga, fikiran, bahkan biaya yang tak bisa dibilang sedikit harus kami keluarkan untuk 'sekedar' memiliki keturunan. Pernah aku 'stuck' pada pikiran menyudutkan diri sendiri. Pernah aku terjebak pertanyaan yang meragukan keimananku sendiri. Pernah aku marah dan 'protes' pada Tuhan. Pernah aku terjerumus pada keputus-asaan yang menyakitkan. Jadi, jika ada di antara kalian, yang sampai pada paragraf ini lantas berkesimpulan "ah, lebay amat sih, gak punya anak juga gapapa kalee, banyak anak yang bisa dipungut!", sebaiknya segera tutup blog ini, karena yang akan aku tulis berikutnya, pasti akan lebih bikin kalian eneg ^.^

-prolognya kepanjangan-

Baiklah, 2 tahun setelah menikah, kami memang sepakat untuk menunda untuk memiliki keturunan karena aku belum lulus kuliah dan kami masih harus menjalani LDR. Jujur, ini adalah satu hal yang sangat aku sesali dan yang pada masa-masa berikutnya selalu hadir mengintimidasi aku dalam bentuk menyalahkan diri sendiri. "Jangan-jangan ini hukuman Tuhan karena waktu itu mungkin aku sedemikian 'sombong' dan merasa bisa mengatur Tuhan". "Jangan-jangan Tuhan marah dan benci padaku?", namun dengan istighfar perlahan aku sadar, bahwa Tuhan tidak sejahat itu, Tuhan tidak kekanak-kanakan, Tuhan tidak mendendam, Tuhan tidak picik!

Setelah aku lulus dan serumah dengan suami, kami mulai memupuk keinginan untuk segera punya momongan. Termakan 'rayuan' iklan salah satu merk test-pack yang katanya sudah bisa mendeteksi kehamilan hanya selang 7 hari dari saat berhubungan, membuat aku hampir tiap bulan melalukan tes kehamilan pribadi walauuu belum telat mens! Obsesif amat yak :(

Tapi memang begitulah adanya diriku saat itu. Berdiam di rumah tanpa aktifitas berarti, membuat aku terlalu 'fokus' pada keinginan untuk hamil. Dan itu ternyata sangat tidak baik, malah bikin stres. Fortunately, saat itu aku lumayan aktif nge-blog, lumayan aktif ikut kumpul-kumpul sama temen-temen blogger seperti Cah Andong, Blogger Ngalam, BlogFam sampai ke komunitas blogger ibu-ibu Mbok Darmi. Dari rajin ngeblog sampai akhirnya terjerumus rajin baking (bahkan sempat produksi kue-kue dan dikomersilkan dengan merk 'daridapur'). Semua itu sempat sedikit mengalihkan duniaku fikiranku dari harapan untuk hamil.

Namun, semakin lama, dunia blog, dunia ibu-ibu membuatku kurang nyaman. Bukan karena mereka tidak baik (mereka amat sangat baikkkk banget malahan, sampai sekarang). Saat itu, rata-rata blog yang sering aku kunjungi, selain yang ngomongin politik, juga blog-blog keluarga cemara ibu-ibu muda yang sering menceritakan tentang buah hati mereka, bagaimana perkembangan anak-anak lucu mereka, bagaimana mereka menyediakan makanan cantik penuh gizi untuk anak-anak imut mereka, dll. Tentu bukan salah mereka jika kemudian aku, di alam bawah sadarku, merasa terintimidasi, merasa 'berbeda', merasa un-lucky :(

Lalu tiba-tiba aku merasa TIDAK PUNYA TOPIK untuk ditulis, untuk dibahas di blog, untuk diceritakan. Dan matilah blog ini saat itu. Padahal, sebelum-sebelumnya juga aku nggak pernah nulis tentang anak-anak. Kebanyakan aku nulis tentang human-relationship, politik, opini atas isu-isu publik, rumpian ringan dan yaaa something like that lah! ANEH.

Lari dari dunia blog, lari dari dunia nyata, aku kabur ke dunia game. Dan kebetulan, ketemu game online yang cocok. Yulgang namanya, keluaran Kreon. Iya, Kreon yang itu, yang mata duitan itu, haha. Sekian lama sibuk nge-game dari pagi sampai pagi, membuat 'naluri keibuanku' sepertinya menipis. Sedikit lupa pada keinginan untuk punya anak! Tapi sepertinya Tuhan tidak rela aku melupakan cita-citaku untuk menjadi seorang ibu, seperti temen-temen blogku, seperti temen-temen sekolahku, seperti wanita lain.

Takdir mempertemukan aku dengan sebuah Daycare, dimana aku dipertemukan dengan anak-anak polos yang lucu-lucu, dimana aku bisa bertatapan dan berinteraksi secara langsung dengan mereka, manusia-manusia kecil yang sebelumnya sangat aku impikan! Sekaligus tempat aku mengabdikan ilmu psikologi yang sebelumnya aku pelajari dan sangat aku minati. Aku tenggelam menikmati setiap kebersamaanku dengan anak-anak itu, sekaligus membangkitkan kembali semangatku untuk menjemput matahariku!

Januari 2013. Aku dan suamiku, mulai serius memikirkan program untuk memiliki momongan. Langkah awal kami, dimulai dari dr. Ova di RS. Happy Land. Seorang teman suami bercerita bahwa istrinya berhasil hamil setelah menjalani program inseminasi dengan dr. Ova.

Kami menghadap dr. Ova dengan tekad, apapun yang dokter sarankan, akan kami lakukan. Eh, beberapa tahun sebelumnya, sebenarnya kami pernah hendak memulai program hamil di RS PKU Muhammadiyah, suami cek sperma dan saya menjalani cek HSG. Jadi, sebenarnya saat menghadap dr. Ova itu kami sudah sedikit tahu apa masalah kami sebenarnya. Jadi, riwayat hasil analisa sperma dan HSG saat itu kami laporkan ke dr. Ova. Dari dokter  Ova, kami dirujuk ke dokter Dicky, saat itu sepertinya satu-satunya androlog di Jogja, untuk menjalani tes-tes lebih lanjut. Singkat cerita, dari rekomendasi dokter Ova dan dokter Dicky, kami disarankan untuk mencoba program inseminasi buatan.

Namun sepertinya, aku tidak berjodoh dengan dokter Ova. Saat inseminasi sudah dijadwalkan (sesuai dengan jadwal masa subur aku), dokter Ova berhalangan karena harus keluar kota. Lalu takdir mempertemukan aku dengan dokter Upik, masih di RS. Happy Land. Inseminasi pertama ini selain pengalaman pertama, juga pengalaman yang cukup dramatis dan menegangkan. Kenapa? Karena proses preparasi sperma harus dilakukan di klinik dokter Dicky di daerah Maguwoharjo, sementara proses inseminasi harus dilakukan di RS. Happy Land di daerah Timoho. Jadi, sperma suami yang sudah dipilah dan dipilih, harus diboyong ke Happy Land untuk diantarkan ke dalam rahim. Jauh bo! Sudah gitu, saat hendak proses preparasi, listrik di klinik dokter Dicky padam! Jadwal masa suburku jelas gak bisa mundur, karena 2 hari sebelumnya aku sudah disuntik hormon untuk pecah telur. Dokter Dicky sempat menelpon lab di RSKIA Sadewa Babarsari untuk 'meminjam' fasilitas lab guna melanjutkan proses preparasi. Ih, stres. Tau kan, masa hidup sperma di luar tubuh itu terbatas? Proses preparasi sendiri sekitar 2 jam, lalu perjalanan ke Happy Land paling cepet 30 menit. Stres.

Alhamdulillah, tidak begitu lama (tapi terasa lamaaaaa banget), listrik nyala. Dan proses preparasi sperma bisa dilakukan. Lalu dibawa ke Happy Land dan proses inseminasi dapat dilaksanakan walau telat 30 menit dari yang dijadwalkan (belum telat kalau dilihat dari usia hidup sperma, tapi memang telat dari hitungan jam penyuntikan pecah telur). Kesimpulan penting: JANGAN MELAKUKAN INSEMINASI DI HAPPY LAND karena mereka tidak punya lab andrologi, jadi RIBET harus 'otong-otong' sperma (saat itu, entah kalau sekarang).

-tahan nafas dulu, ceritanya masih panjang-

14 hari kemudian, aku mens. Artinya, inseminasi gagal. Titik. Sedih, sudah tentu. Tapi mengingat proses inseminasi yang 'kurang lancar' aku masih bisa memaklumi. Kami kembali ke dokter Dicky, melaporkan hasilnya. Suami diberi obat (sudah lupa obat apa, males buka-buka nota yang memang sengaja aku kumpulkan). Sebulan berikutnya, kami minta ijin untuk mencoba inseminasi kembali. Tapi, kali ini kami mantap untuk melakukan proses inseminasi di RSKIA Sadewa dengan DSOG dokter Upik (kebetulan, selain di Happy Land, dokter Upik juga praktek di Sadewa). Pertimbangan kami memilih Sadewa karena: 1) ada lab yang bisa digunakan preparasi sperma oleh androlog dokter Dicky; 2) dokter Upik praktek di situ; 3) lebih dekat dari rumah.

Seperti sebelumnya, tepat 14 hari setelah insem, aku mens. Iya, gagal lagi. Kali ini, mungkin karena ini kegagalan kedua, mungkin karena aku terlalu berharap sebab proses insemnya berjalan sangat lancar dan nyaman, aku jadi lebih terpukul. Down. Sedih. Tapi percayalah, aku adalah tipe orang yang agak susah memamerkan kesedihan, bahkan pada keluarga. Saat itu aku lebih banyak di kamar, menghindari kontak terlalu lama dengan keluarga. Saking sedihnya, aku sampai merasa tak bisa curhat kepada siapapun! Aku hanya bisa menangis, meratap pada Tuhan, mempertanyakan kasih sayang Tuhan :(

Aku terlalu berharap, karena itu saat gagal, aku terlalu terpukul.

Kami kembali ke dokter Dicky. Dua kali gagal inseminasi, tanpa banyak basa-basi, dokter Dicky menyodorkan 2 opsi: bayi tabung atau operasi varikokel + terapi hormon. Dengan penjelasan panjang lebar, dengan pertimbangan macam-macam, kami memilih opsi kedua. Suami langsung dirujuk ke dokter Trisula, dokter bedah urologi di RS. Sardjito. Singkatnya, operasi dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan terapi hormon selama 10 minggu. Menurut dokter Dicky, masa tunggu setelah operasi dan terapi adalah sekitar 6 bulan. Lalu dimulailah masa-masa penuh harap itu, dimana kami berharap dapat terjadi kehamilan alami di masa-masa itu.

Namun, tujuh bulan berlalu dan saya tidak sekalipun telat mens :(

Kemudian bulan Ramadhan dan Lebaran menjelang. Aku memutuskan untuk 'istirahat' dari segala pengobatan dan upaya memiliki keturunan.

-capek, sudah dulu ya... besok2 dilanjut lagi, insyaallah-


Comments

Popular posts from this blog

aku tempatmu kembali

Perjuangan Menjemput Matahari #2